Mencintaimu Cukup Bagiku
Biarkan
aku menatap lirih, Setiap keping kenanganku yang telah retak, Biarkan aku tetap mendengar Bisu kata dari semua yang pernah terucap, Izinkan aku kembali melangkah, Sebelum lembar masa lalu berhasil menjamah
Akanku hirup udara yang menyesakkan, Walau nyata, ,tak dapat ku genggam angin, Sempatkan aku untuk tertunduk
Menyentuh kembali sakit yang terindah
“Gabriel.. ayo!!.”
Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggilku. Aku tak punya alasan
lagi untuk berkata ‘tidak’.
Kupandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Disana ada seorang
penjaga, masih dengan kesibukan yang sama.
Perempuan paruh baya yang memanggilku tadi – yang tak lain adalah ibuku- ia
mengecek barang-barang. Ia menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.
“iel, kamu bawa yang ini!!.” Perintahnya. Ia menyisakan sebuah tas besar penuh
isi. Aku tak tahu apa isinya. Bukankah
sejak awal aku tak tahu barang apa saja yang kami bawa. Mm.. bukan kami, dia
tepatnya. Ibuku. Aku tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena
sejak awal pula, aku enggan pergi. Aku meraih tas besar yang dimaksud sebelum
ibuku berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk kuabaikan.
Sudah kubilang padanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja,
ia yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Kami akan pergi dan
takkan kembali. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Bagiku
tetap saja berlebihan.
“jangan sampai ada yang tertinggal!! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian yel!.
Isinya surat-surat sekolah kamu.” Ujarnya lagi.
“ayoo!.” Ia sudah melangkah lebih dulu.
Sekali lagi, aku menatap pintu lobi, berharap disana ada seorang gadis berdebat
dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film.
Tapi mataku tak melihat apa-apa. Aku bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun.
Karna tak ada yang ingin kulihat saat ini kecuali gadis itu.
“Gabriel….” Erang ibuku. Ia sudah berjarak 7 meter dariku. Aku bisa melihatnya
kesal. Bisa saja ia kembali kesini dan menjewer salah satu telingaku agar aku
ikut berjalan dengannya. Tapi ia tak mungkin melakukan itu, umurku 18 tahun.
Apalagi kami sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa ia tidak akan meluapkan
kekesalannya dalam bentuk lain, karna toh aku sudah mau ikut pergi. Pergi
meninggalkan kota ini. Negara ini dan gadis itu. Gadis yang bukan gadisku.
Aku mengecek sekitaran tempat duduk. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli
kalaupun ada yang tertinggal. Aku hanya sedang tidak ingin menambah situasi
menjadi rumit.
“gabriel, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat.” Ocehnya lagi.
Aku menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuatnya mengomel begitu.
Okkey,, aku pergi. Selamat bu, karena sekarang aku berada penuh dalam
kendalimu.
Aku melangkahkan kaki menuju dimana ibuku berdiri namun belum sempat aku sampai
padanya, ia sudah berjalan lagi. Sepertinya ia tak tahan lagi menunggu
langkahku. Yang penting dalam penglihatannya aku sudah mau berjalan. Langkahku
terasa berat. Ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakiku. Dan benda-benda
itu tak kasat mata.
Melihat reaksinya, aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalaku
tertunduk seolah merasakan aku telah kalah. Membuat ubin-ubin penyusun lantai
ruangan ini terlihat jelas oleh mataku.
Aku juga bisa menangkap kedua tanganku yang menenteng tas besar disebelah kanan
serta koper berukuran sedang disebelah kiri. Pearasaan malasku semakin muncul,
rasanya ingin sekali aku berbalik arah kemudian berlari kencang, melempar dua
benda ditanganku ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi
tidak, aku tak melakukannya. Jika setahun bahkan seminggu yang lalu aku masih
punya alasan untuk menolak ajakannya bahkan sekedar menunda bersekolah di pert
dan berkumpul lagi dengan ayahku, sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk
melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang aku pergi.
Aku ingin pergi. Hmm,.. bukan aku tak ingin, tapi aku harus. Akhh.. entahlah
aku sudah tak tahu lagi.
“Gabriel.” Teriak seorang wanita lagi, cukup samar. Tapi aku tahu itu suara
wanita.
Aku hampir mengumpat tertahan. Kukira itu ibuku. Tapi sedetik kemudian aku
tersadar, itu bukan suara ibuku. Aku mendongak, didepan sana kudapati ibuku
masih berjalan, tampaknya ia tak mendengar ada yang menyebut namaku, atau
bahkan memanggilku dengan sengaja.
“Gabriel.”
Lagi. Suara itu?
Aku menoleh cepat. Belum sempat aku melempar pandangan, seseorang menubruk
tubuhku dan melingkarkan kedua tangannya, memelukku erat. Aku hampir saja jatuh
kebelakang, tapi tubuh orang ini tidak cukup untuk merobohkan pertahananku.
Mataku bertemu pada dua buah kornea hitam didepan sana. Ia menatapku tajam,
gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik
berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya
berhembus kasar. Pria itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja ia menunggu
disana dihadapanku dan seseorang yang memelukku ini sekitar 5 meter. Ia
membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya.
Dengan menghiraukan tatapan pria itu, aku membalas pelukannya. Membiarkan
rinduku bersemayam detik ini, dan aku berharap waktu berhenti sekarang juga.
Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!!!
Ia membenamkan wajahnya didadaku dan aku membenamkan wajahku dilehernya.
Posturku yang lebih tinggi membuatku memaksakan ini. Tak apa. Yang penting aku
sangat nyaman.
Biarkan saja orang-orang melihatku dengan tatapan aneh termasuk pria itu.
Biarkan saja, ibuku mengomel lagi karna aku tak kunjung menyusulnya. Biarkan
saja detak jantungku beradu dengan aliran darahku yang deras. Biarkan saja
keringatku mengucur karna rasa gugupku yang terlalu hebat. Dan kumohon biarkan
saja, gadis ini tetap memelukku seperti ini.
***
“vi, buruaann!!!.” Teriakku didepan gerbang rumah.
“iya..” jawabnya.
Sivia masih sibuk mengikat tali sepatunya diteras rumah. Sedangkan aku sudah
gelisah menunggunya sambil sesekali melirik kearah matahari.
Aku memang tidak suka memakai jam tangan dan dengan melihat bagaimana cahaya
matahari saja aku sudah tahu jam berapa sekarang. Sivia berlari keluar gerbang rumahnya yang berjarak 3 langkah saja dari
tempatku berdiri. Rumah kami memang bersebelahan tanpa penghalang apapun.
Kecuali tembok tentunya.
“ayook!!.” Aku menggamit lengannya.
Kami mengambil langkah lebar menuju halte depan gapura kompleks. Aku masih
menggandeng sivia, gadis ini akan semakin tertinggal kalau kulepaskan.
“aduh iyel, kaki kamu panjang banget sih? Aku jadi lari-lari nih.” Eluh sivia.
Ia tertinggal satu langkah dariku.
“kalo ga gini nanti kita ketinggalan bis yang biasanya. Nah itu dia
bisnya.” Ucapku.
Aku melihat bis itu berhenti di halte. Beberapa anak berseragam smp maupun sma
naik, dua orang berseragam rapi akan ke kantor juga ikut naik. Bis itu nampak
akan segera berangkat lagi. Sialnya kami
belum sampai di gapura apalagi menyebrang ke halte itu.
“ ayo vi!.” Ajakku.
Kini kami tidak berjalan lagi. Aku berlari dan sivia, ia semakin berlari ketika
menyadari bis itu akan segera meninggalkan kami.
“tunggu paakk!!.” Teriakku keras.
Aku berharap sopir itu mendengarnya. Atau kalau tidak, kondekturnya, atau
beberapa penumpanglah minimal.
“pak stop pak.” Teriak sivia kali ini.kami masih berlari mengejar bis itu yang
mulai berjalan lagi. Sivia dan aku sudah berhasil menyebrang, sayangnya bis itu
sudah berjalan ketika kami sampai di halte.
Aku menambah kecepatan berlari, tanpa sadar tanganku masih menggandeng sivia.
Gadis itu bersusah payah mengikuti kecepatan lariku. Cara berlarinya membuatnya
mulai kehilangan keseimbangan.
Buuggg..
Tanganku tertarik kebawah. Aku hampir saja terjatuh karena itu. Ketika aku
menoleh, sivia sudah tersungkur dijalan aspal.
“sivia..” pekikku menyadari gadis ini terjatuh.
Posisinya parah sekali untuk dilihat. Apalagi sebelah tangannya yang masih
kugenggam membuatnya tak bisa menahan tubuhnya agar tak terbentur aspal.
“aduuhh..” erangnya. Ia duduk diatas aspal yang membuatnya mengerang kesakitan.
Lutunya ditekuk, menampakkan sebuah luka lebar menganga disana. Mataku
membelalak, darah merah mulai mengalir dari lukanya.
“sakit yel.” Lanjutnya
Aku ikut berjongkok didepannya, awalnya aku bingung harus melakukan apa
kecuali, aku membuka resleting tas ranselku. Syukurlah, ada sapu tanganku
didalamnya.
“pake ini dulu yah, nanti disekolah aku obatin.” Ucapku meyakinkan.
Sivia mengangguk. Kubalutkan sapu tangan putihku di lututnya. Bercak merah mulai tampak disapu tanganku itu.
“hey.. jadi naek nggak???” teriak seseorang dibalik punggungku. Aku menoleh
kaget.
Seorang kondektur berdiri disamping pintu belakang bis yang sedang
berhenti. Seorang pria berseragam sekolah
berjalan menghampiri.
“jadi pak, tunggu sebentar.” Ucap pria itu sambil terus berjalan kearah kami.
“iel?.” Ucapnya.
“Alvin?.” Ucapku.
“kalian gak pa-pa kan?” tanyanya kemudian setelah menyadari posisi kami yang
terduduk dijalanan aspal.
“ayok, keburu bisnya gak mau nunggu.” Ucapnya lagi.
Aku menoleh pada sivia, ia masih meringis kesakitan. Aku bisa melihat
sebenarnya ia hampir menangis. Tapi tak jadi, mungkin karna ada orang lain
disini sekarang.
“masih bisa kan vi?.” Tanya ku
Sivia mengangguk pasrah. Aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju bis yang
sopirnya sudah menekan klakson berkali-kali serta beberapa penumpang yang
menunggu kami tak sabar.
Bis ini cukup penuh, sudah tak ada tempat duduk yang tersisa. Bahkan sudah ada
beberapa orang yang berdiri saat kami naik. Aku menatap sivia prihatin, peluh
keluar dari dahi serta bagian kulit wajahnya yang halus. Sementara kakinya, ia
pasti sangat kesakitan jika terus berdiri. Bagaimana mungkin aku tega
melihatnya begini?
Tiba-tiba alvin melepas ransel dari punggungnya lalu meletakkannya dilantai
bis. Ia menepuk-nepuk ranselnya lalu memandang kearah sivia. Ia berjongkok
didepan kami. Keningku mengerut melihatnya.
Kami masih berada didekat pintu belakang. Sivia tak sanggup berjalan lagi untuk
sekedar masuk ketengah-tengah bis.
“duduk disini, isinya cuma buku aja kok.” Ucapnya yakin sedikit mendongak. Aku
melongo cukup kaget atas perilakunya. Aku bahkan tak sampai berfikiran seperti
itu. sivia menoleh kearahku ragu, aku mau tak mau mengangguk. Aku tak ingin
membiarkannya semakin tersiksa dengan berdiri dalam keadaan lutut yang luka.
Aku sempat merutuki diriku sendiri kenapa tak bisa berfikir sekreatif alvin.
Tapi sudahlah yang terpenting sivia bisa duduk sekarang yah meskipun akan
terlihat seperti dilantai bis. Aku
berjongkok disampingnya.
Hampir semua pandangan penumpang mengarah pada kami bertiga.
“thanks ya vin.” Ucapku. Alvin mengangguk
saja menimpali.
“oh ya vi, kenalin ini alvin temen smpku dulu.” Ucapku. Sivia memandang alvin lama, alvin menunjukkan
senyumnya.
“alvin.” Ucap temanku itu sambil menyodorkan telapaknya.
“sivia.” Ucap gadis ini menyambut jabatan tangan alvin.
“makasih ya.” Tambah sivia.
Alvin mengangguk seraya tersenyum lagi. Jabatan tangan itu masih terjadi. Entah
kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sangat perih. Aku seperti merasa akan
kehilangan.
Sejak pertemuan di bis itu, sivia dan alvin semakin dekat. Awalnya aku tak
mempermasalahkan hal itu. Aku cukup tau Alvin. Tiga tahun aku duduk sebangku
dengan pria itu. Ia pria yang baik. Tapi aku sadar kedekatan mereka lebih.
Bahkan hingga hari ketujuh setelah perkenalan mereka, aku tak tahu sedekat
apalagi mereka. Aku sering melihat Alvin datang kemari, kerumah sebelah,
tepatnya rumah sivia. Aku juga sempat melihat Alvin mengantar sivia pulang
kemarin.
Sivia mulai agak menjauh dariku. Mm..bukan. tapi jarak kami yang sedikit mulai
menjauh. Aku memang masih berangkat bersamanya, tapi didalam bis, selalu sudah
ada Alvin dan saat itulah aku seperti sulit untuk masuk dalam dunia sivia,
dunia mereka. Keduanya sering tak sadar, aku berada didalam bis yang sama
dengan mereka.
Entah sejak kapan alvin jadi suka naik bis, karna seingatku dulu ia tak suka
naik transportasi umum. Mungkin hari itu kebetulan alvin terpaksa naik bus dan
mulai hari itu pula ia selalu naik bus hingga kami selalu bertemu. Tepatnya
sivia dan alvin selalu bertemu. Aku tahu aku sudah merasakan rasa yang tak
wajar. Perasaan yang tak baik untuk tetap ada. Aku merasakan iri melihat
kedekatan mereka, aku merasa sakit hati melihat mereka berdua mengobrol,
bercanda, tertawa bahkan alvin pernah menolong sivia yang hampir jatuh dari
pintu bis yang belum sepernuhnya berhenti.
Aku merasa posisiku dulu sudah tergantikan. Seperti saat ini, aku hendak
mengajaknya pergi, dan kalian tahu sivia berkata apa? Gadis itu berkata...
“hey vi. Mm... aku ada tanding futsal nih, kamu nonton yah?. Emm masih sparring
aja sih sebenernya, tapi kamu mau nonton kan?” tanyaku
Ia berpakaian cukup rapi. Semoga saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya
pergi agar kedekatan kami yang sempat merenggang selama seminggu ini bisa
kembali seperti dulu.
“mm… sorry yel, tapi aku ada janji mau nonton pertandingan basket Alvin. Kamu
cuma sparring kan? Lain kali aja yah, kalo kamu tanding beneran aku bakal
nonton kok. Ga pa-pa yah?.” Sivia menatapku tak enak hati.
Begitulah jawaban ia menolak ajakanku. Sesungguhnya aku lebih memilih dia
berbohong saja daripada berkata jujur begini. Sakit sekali rasanya mendengar ia
akan pergi menonton pertandingan basket Alvin, orang yang baru dikenalnya
sekitar seminggu ini daripada pertandinganku sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
“ngg.. yauda ga pa-apa kok.” Ucapku tak ikhlas.
Mungkin benar istilah orang-orang yg berkata
Dibalik “cie” ada kecemburuan
Dibalik “gpp” ada masalah
Dibalij “terserah” ada keinginan
Dan dibalik “yaudah” ada kekecewaan. Benar!! aku tengah kecewa sekarang.
“oke.. bye iyel.” Pamitnya
Aku memandang punggungnya bergerak melewati gerbang. Ternyata itu alasan ia
berpakaian rapi sore ini. Dengan sadar aku
berjalan kembali memasuki rumah.
“loh kenapa balik yel?.” Tanya ibuku.
“gak jadi pegi ma.” Ucapku malas.
Aku duduk disofa ruang tengah, melempar asal tas berisi perlengkapan futsalku.
“kok gitu, katanya mau tanding?.” Tanya beliau lagi.
“pertandingannya gak penting kok.” Ucapku berusaha santai.
Aku bisa melihat kening ibuku mengerut. Seolah berfikir aneh sekali dengan
sikapku. Benar saja, aku tak pernah melewatkan satu latihanpun dari futsal,
jadi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai berkata ‘ pertandingan futsalku
tidak penting’ itu sangat aneh menurut beliau pasti. Dan aku tidak
memungkirinya.
“trus gimana yel sama tawaran mama tadi? Kamu ikut kan? Sebentar lagi kenaikan
kelas loh yel.”
“aku uda bilang berapa kali sih sama mama. Aku gak mau pindah ke australia.
Kalo mama mau pergi kesana ya kesana aja!. Iel ga apa-apa kok sendirian.”
Jelasku.
Perasaanku semakin bertambah buruk saja sekarang.
“sendirian? Kamu pikir mama mau tinggalin kamu sendirian disini?.”
“mama gak percaya sama aku? Aku bakal baik-baik aja kok. Aku uda gede. Aku tau
mana yang baik dan enggak. Lagian disini juga ada...”
“ada siapa? Sivia?” potong ibuku
Ia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya enggan.
“sampe kapan kamu mau ngandelin dia? Minta bantuan dia apa-apa kalo mama gak
ada? Memangnya dia gak kerepotan apa?.” Tanya ibuku bertubi-tubi.
Benarkah? Apa benar ucapan ibuku? Apa benar aku merepotkan sivia?
Selama ini aku selalu mengandalkannya memang. Ia memasakkan makanan untukku
ketika ibu harus pulang malam bekerja. Ia membantuku mmembersihkan rumah yang
berantakan ketika aku sibuk bermain futsal. Ia? Benar, mungkin aku memang
terlalu merepotkan.
“iel ngerepotin sivia ya ma?” ucapku pelan.
Hari ini, aku tidak berangkat dengan sivia. Aku masih kepikiran ucapan mama,
apa benar aku merepotkan gadis itu?.
Aku berangkat agak siang. Aku yakin sivia juga tak akan menungguku, toh didepan
sana sudah ada alvin yang siap didalam bis langganan kami. Sudah ada pria yang
menjaganya. Tapi apakah aku rela membiarkannya? Menggantikan posisiku menjaga
sivia?. Aku bahkan memberinya ruang gerak pagi ini.
Tidak!!!. Pria itu, alvin, ia tak pernah tahu bagaimana aku menjaga gadis itu
selama ini. Ia tak pernah tahu bagaimana aku jatuh bangun mengejar sivia. Dan
satu hal yang harus dia tau, semua tak akan mudah. aku tidak akan melepas
sivia. Aku tak akan melepaskan sivia demi apapun. Kecuali sivia yang
memintanya. Gadis itu yang belum menjadi gadisku.
Aku beranjak dari sofa. Aku sudah selesai mengikat tali sepatu sejak tadi
sebenarnya, tapi karna fikiran bodohku itu aku jadi melamun saja membiarkan
waktu meninggalkanku sendiri tanpa sivia.
Hari ini, tepat dua bulan setelah kejadian dalam bis itu. Hari ini juga
pembagian rapor kenaikan kelas. Aku sudah menerima raporku sejak tadi. Setelah
itu, Aku menunggu kedatangan sivia ditaman sekolah. Ingin sekali kutunjukkan
padanya bahwa raporku semester ini amatlah sangat membanggakan. Aku tak peduli
jika ibuku menungguku dirumah, menanti bagaimana hasil belajarku selama ini.
Yang terpenting sekarang adalah aku ingin menunjukkannya dulu pada sivia. Dia
gadis pertama yang ingin kuberi tahu.
Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi yang terbaik
dikelas. Dan ketika itu bisa terjadi, akan kuungkapkan perasaanku padanya. Akan
kunyatakan rasa yang kumiliki ini. Akan kujelaskan betapa ia begitu berharga
dalam hidupku. Dan inilah waktunya.
Menunggu sivia membuatku jadi gugup sendiri, jantungku berdegup kencang.
Sekalipun aku sudah menghembuskan nafas menenangkan berkali-kali tetap saja tak
berhasil. Aku gusar, menantinya dan menanti ucapanku sendiri.
Tak lama gadis itu datang, ia tersenyum. Senyum yang selalu kubayangkan kembali
sebelum tertidur saat malam. Ia berjalan tenang, tapi bisa kulihat ia sangat
senang sekali. mungkin ia mendapat nilai bagus atau kabar gembira yang
lain. Semoga dengan pernyataanku nanti aku
bisa menambah bahagianya hari ini.
“hay fy... aku mau ngomong sama kamu.” Ucapku mengawali.
Aku berusaha keras menyembunyikan rasa gugupku. Okeeh aku memang tidak berpengalaman,
tapi kuharap aku bisa melakukannya.
“aku juga mau ngomong sama kamu yel.” Ucapnya sangat sumringah. Sungguh dengan
mata terpejamkupun aku bisa melihat kebahagiaan terpancar dimatanya.
“oh yaudah kamu duluan deh yang ngomong. Ladies first.” Ucapku
sok-sok’an. Sivia tertawa lebar.
“oke, yang pertama nilaiku diatas 85 semua yel. Yeee...” ucapnya semangat. Ia
sempat melompat-lompat kegirangan.
“wahh... bagus tuh. Kayaknya aku bakal dapet traktiran deh.” Ucapku
berbasa-basi. Ia berhenti melompat.
“eumm.. gak itu aja. Itu masih biasa kok. Mmm kamu tau gak...apa yang bikin aku
lebih seneng?.”
Sivia menunjukkan ekspresi paling menggemaskan yang ia punya. Jantungku
berdegup semakin cepat. Ya tuhan,, itulah salah satu alasan mengapa aku sangat
merindukannya setiap detik. Aku menggeleng
pelan.
“alvin nembak aku yel, kita udah jadian tadi pagi. Yee...” ucapnya girang lagi.
DEGG...
Hening. Bukan,, bukan karna sivia tak bersuara lagi, sivia masih lompat
kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga
membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun
lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku
tercekat ditenggorokan.
Mataku tak berkedip. Aku menatapnya nanar. Apa benar yang baru kudengar? Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.
“kamu kenapa yel?. Gak seneng yah?.” Ucap sivia sedih menyadari aku yang tak
bereaksi apa-apa.
Aku menggeleng lemah. Aku masih bertahan dengan sisa nafas yang belum
kuhembuskan sebelum sivia berucap tadi. Kubiarkan saja paru-paruku tak terisi
oksigen. Biar, biar aku bisa merasakan sakit pada paru-paruku. Dengan begitu
mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.
“yel?. Kamu kenapa?. Rapot kamu baguskan?. Kamu naik kelas kan?.”
Aku mengangguk lemah. Sungguh, aku tak bermaksud untuk tak menjawab
pertanyaannya. Tapi rasanya suaraku sudah diambil tuhan.
“beneran yel?. Ato Kamu sakit yah? Muka kamu kok tiba-tiba pucet?.”
Mataku menatapnya nanar lagi. Benarkah wajahku berubah pucat. Oh mungkin karna
aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil tuhan. Pendengaranku juga.
Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.
“aku anter kamu pulang deh ya. Makan-makannya lain kali aja.” Ucapnya.
Kamu benar. Mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak
berniat. Aku mengurung diriku di kamar.
Membenamkan wajahku pada tempat tidurku sendiri. Ibuku sempat panic melihatku
yang pucat pasi. Setibanya tadi, ia langsung mengecek raporku, barangkali nilai
disana yang membuatku begini. Andai aku bisa menjerit, bukan. Bukan itu.
Hari sudah malam, aku bisa melihatnya lewat kaca jendela kamar yang masih
terbuka tirainya. Tadi sebelum aku tertidur, aku berifikir sesuatu. Sesuatu
yang mungkin terbaik dan membiarkan aku jadi seorang pengecut. tapi aku leih
baik jadi pengecut daripada mengusik kebahagiannya.
Aku turun menemui ibuku yang berada diruang tengah. Ia menyambutku hangat.
Meski tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.
“kamu makan ya nak. Mama ambilin.” Ucapnya.
“iel mau ngomong ma.”
Ibuku berhenti melangkah, mendengar nada suaraku yang serius. Beliau duduk
kembali.
“apa?.”
“ma, iel bersedia sekolah di australi.” Ucapku parau. Aku menghembuskan nafas
berat. Susah sekali aku mengucapkan itu.
“kenapa?.”
“mama gak perlu tahu alasannya. Yang penting iel mau.” Ucapku
“tapi?. Baiklah kalau begitu. Kapan?.” Wajahnya tak menegang lagi.
“besok? Bisa?.” Tanyaku tak yakin.
“secepat itu?.” Tanya ibuku tak percaya.
Aku mengangguk. Iya lebih cepat lebih baik. Toh aku sudah kalah, sudah saatnya
aku pulang. Pulang tanpa dendam akan kekalahanku atau berniat merebut gadis
itu. Aku tidak akan melakukannya. Melihat gadis itu tersenyum seperti tadi
pagi, sudah cukup untuk meyakinkanku Alvin bisa membuatnya bahagia. Bahkan
lebih bahagia daripada saat bersamaku.
“oke. Mama akan telfon papa. Kamu siap-siap yah!.” Perintah beliau.
Aku mengangguk. Dengan berat hati kutinggalkan perempuan paruh baya yang duduk
disofa itu. Aku tahu pasti tanda Tanya besar ada diotaknya sekarang. Mungkin
pertanyaan macam ini. ‘bagaimana bisa? Ada apa?’ benar. Karna sebelumnya aku
selalu menolaknya mentah-mentah.
Tentu saja, untuk apa sekarang aku menolak lagi. Aku sudah tak punya alasan.
Aku sudah tak berkewajiban lagi menjaga gadis itu. Gadis itu sudah mempunyai
penjaganya sendiri. Bahkan juga penjaga hatinya.
Aku melangkah menuju balkon rumah dengan menenteng sebuah gitar. Menikmati
sejenak hembusan angin malam yang mungkin sudah tak kan kurasakan lagi esok
ditempat ini. Malass sebenarnya aku bersenandung. Atau sekedar memetik
senar-senar gitar ini. Tapi entah aku ingin mempersembahkan sesuatu pada langit
kota ini untuk yang terakhir. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada bintang
malam.
Semula ku tak yakin
Kau lakukan ini padaku
Meski di hati merasa
Kau berubah saat kau mengenal dia
Reff:
Bila cinta tak lagi untukku
Bila hati tak lagi padaku
Mengapa harus dia yang merebut dirimu
Bila aku tak baik untukmu
Dan bila dia bahagia dirimu
Aku kan pergi meski hati tak akan rela
* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu
“aku cinta kamu vi. Aku cinta kamu.” Ucapku lirih pada wajah sivia yang
terlukis dilangit.
***
“aku udah tau semuanya.” Ucapnya melepas pelukan hangat ini.
Mataku membelalak lebar
Darimana?
“yah.. aku tahu. Alvin yang bilang. Kenapa kamu gak jujur aja sih?.”
Alvin? Kamu tau dari Alvin. Lalu Alvin tau darimana?. Oh aku lupa kalo alvin
laki-laki. Ia pasti tahu sekali bagaimana perasaanku padamu sivia. Tapi apa?
Sudah tak ada gunanya juga bukan?.
Lagipula, kenapa harus dia yang memberi tahumu vi? Kenapa bukan kamu sendiri
yang bisa tau? Tak bisakah kamu membaca mataku? Tak bisakah kamu melihat
perlakuanku? Tak bisakah kamu mendengar suara hatiku? Atau setidaknya
bertanyalah pada langit dimana aku sempat berkata padanya dan kamu akan mendapat
jawabannya?.
“kenapa harus pergi sih yel?. Kamu gak mau yah temenan sama aku lagi gara-gara
aku gak bisa bales perasaan kamu?.”
Aku menggeleng keras.
“bukan. Bukan itu. Bisa mencintai kamu aja itu udah cukup buat aku.” Ucapku
tersenyum.
“terus?.” Kening sivia mengerut.
“aku harus meneruskan hidupku. Bukan begitu?. Aku tidak ingin mengganggu
kalian.”
Sivia sudah memasang wajah tak terima.
“hey, sejak kapan kamu mengganggu?.”
“banyak alasan yang gak bisa aku sebutin vi, aku harus pergi. Aku harap kamu
ngerti keputusanku.” Timpalku.
Sivia memasang wajah pasrah lagi. Gadis ini. Ya tuhan andai gadis ini tahu,
setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cintaku dan mengeruknya
semakin dalam.
Sivia mengangguk mengerti. Aku menghembuskan nafas berat.
“kamu harus raih cita-cita kamu disana. Dan kamu harus janji akan buka hati
kamu untuk gadis lain. Hey gadis pert cantik-cantik loh.”
“haha aku suka gadis Indonesia.” Ucapku basa-basi.
“oh disana kan juga banyak pelajar indonesia.” Timpalnya
“janji yah?.” Tagihnya.
Aku berfikir sejenak.
“mm.. okeh.” Ucapku
Dalam hati aku berkata ‘enggak, aku gak janji vi.’
Sivia tersenyum lega. Ia lalu menoleh pada alvin. Alvin tersadar waktunya
datang. Ia menghampiri kami.
Dan inilah tiba saatnya waktu kami terbagi lagi. Dimana dunia kami menjadi
bertiga lagi setelah sempat beberapa menit lalu aku merasa dunia ini hanya
milikku dan sivia. Seperti duniaku sebelum kedatangan alvin dulu.
“jaga sivia ya bro.” Ucapku sok-sok’an
“pasti. Tanpa lo minta.” Ucapnya yakin.
Aku mengangguk paham. Lalu berbalik arah hendak pergi.
“iyel.”panggil alvin.
“gue akan ngejaga sivia sebagaimana lo pernah jaga dia dulu. Thanks ya lo ada
disaat garis takdir belum mempertemukan gue sama gadis yang gue cintai.”
Ucapnya.
Aku meneguk salivaku lalu mengangguk saja.
“gabriel.” Teriak ibuku lagi. Ia merusak suasana ini.
“aku pergi. Bye” ucapku lalu meninggalkan mereka.
Samar-samar aku mendengar ketika langkahku menjauh.
“kamu memang bukan orang yang aku cintai yel. Tapi kamu special.” Ucap gadis
itu, gadis yang pernah kuimpikan jadi gadisku.
* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu.
By: Nurul A. Erviningrum